Category Archives: Badan Pengelola Frekwensi Indonesia

Indonesia Perlu Bentuk Badan Pengelola Frekwensi

JAKARTA—Indonesia perlu membentuk badan pengelola frekuensi yang independen agar sumber daya alam terbatas dapat dioptimalkan untuk kemajuan masyarakat.
“Tidak bisa frekuensi hanya dikelola oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (kemenkominfo) dimana pejabat yang mengatur hanya setingkat dirjen atau eselon satu. Padahal, penggunaan frekuensi ini lintas departemen, sehingga dibutuhkan organisasi yang memiliki wewenang luas dan diisi sumber daya manusia yang kompeten,” tegas Direktur Center For Indonesian Telecommunication Regulation Study (CITRUS) Asmiati Rasyid di Jakarta, Kamis (4/8).
Menurutnya, jika frekuensi dikelola oleh badan independen seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan memudahkan untuk melakukan penataan ulang penggunaan yang selama ini dikuasai oleh pihak asing atau diperjual belikan sebagai aset, padahal dipinjamkan oleh negara.
 “Refarming (tata ulang) di penggunaan frekuensi harus segera dilakukan. Selain itu audit penggunaan frekuensi juga harus dilaksanakan agar tidak ada sumber daya alam yang diperjualbelikan,” katanya.

Berdasarkan catatan, sektor telekomunikasi menguasai frekuensi sebesar 585 Mhz, penyiaran berbasis satelit (1.600 Mhz), broadcast teresterial (700 Mhz), kementrian pertahanan/polisi (1.500 Mhz), Kemenhub (500 Mhz), dan penelitian (200 Mhz).

Hampir 80 persen Pendapatan Negara Bukan Pajak  (PNBP) dari Kemkominfo disumbang oleh Ditjen Postel, terutama dari pengelolaan frekuensi. Sektor telekomunikasi menyumbang 90 persen  dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, yaitu mencapai 5,13 triliun rupiah, sedangkan  sektor penyiaran hanya menyumbang 20 miliar rupiah pada tahun ini.
Masih menurut Asmiati, jika refarming terjadi, sektor telekomunikasi harus mendapatkan prioritas tambahan frekuensi mengingat era konvergensi akan datang dan membutuhkan penggunaan spektrum yang banyak.
“Di sektor telekomunikasi refarming bisa dilihat dari kepemilikan jumlah pelanggan dan daya jangkau operator. Sedangkan untuk penyiaran,  para pelaku usahanya  harus mulai menjalankan teknologi kompresi terbaru agar kepemilikan frekuensi yang besar bisa dikurangi dan dialihkan untuk teresterial,” jelasnya.
Anggota Komisi II DPR RI Akbar Faisal menolak wacana dibentuknya badan khusus mengelola frekuensi karena bisa memboroskan dana negara. “Buat apa dibentuk badan khusus. Kalau badan ini ada, berarti Kemenkominfo tidak bekerja dengan benar. Ini namanya pemborosan keuangan negara,” tegasnya.
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan, penataan frekeunsi justru lebih mudah jika berada di tangan direktorat di kemenkominfo. “Justru di bawah dirjen itu lebih gampang koordinasinya, apalagi jika bicara pengelolaan frekuensi di daerah,” katanya.
Menurutnya, jika memang akan dilakukan audit frekuensi dengan semangat menarik sumber daya alam yang tidak optimal, harus ada payung hukum yang jelas. “Tidak bisa main tarik saja. Harus diingat investor asing diundang oleh pemerintah Indonesia. Kalau seperti ini ubah dulu undang-undang dan jangan lagi bicara liberalisasi,” tandasnya.[dni]
Sumber: Dini Ismanto Koran Jakarta 5 Agustus 2011