Senandung Ayat-ayat Cinta di Hari HaKI se Dunia ke-8, Sabtu 26 April 2008

Ditengah kesibukan kita se-hari-hari dan ramainya Milis tentang akan
hadirnya Bill Gates serta Proyek NAMRU-II, kita semua jadi terlena untuk
memperingati hari penting dunia, yaitu Hari HaKI Dunia ke-8 yang jatuh
pada hari Sabtu kemarin, 26 April 2008.

Untuk itu kami lampirkan repotasi wartawan bisnis.co.id, sdr. Suwantin
Oemar dengan judul diatas sebagai bahan diskusi.

Penghancuran Software Bajakan

  1. Indonesia selaku anggota World Intelectual Property Organization(WIPO) yang telah memilkik UU HaKI sudah tentu perlu bersikap cerdas dan cerdik dalam memanfaatkan keanggotaan di WIPO ini bagi semaksimalnya kepentingan nasional bangsa dan negara Indonesia.
  2. Jangan sampai keanggotaan Indonesia di WIPO ini malah menyebabkan kerugian besar dalam bidang perekonomian dan perdagangan Internasional, serta memberikan kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Misalnya, banyaknya Kepemilikan Intelektual Bangsa Indonesia berupa hasil karya seni dan budaya asli Indonesia malah terlepas dari tangan kita, menjadi milik bangsa dan negara asing. Sepertli lagu-lagu karya asli bangsa Indonesia, pola desain batik, ukiran, tenunan, kerajinan tangan, dll, tanpa kita sadari, terlepas dari tangan bangsa Indonesia.
  3. Mengapa UKMK dan Individu Indonesia belum atau tidak sadar, atau tidak mampu mendaftarkan Kekayaan Intelektual mereka berupa Paten nama/brand/merek dan Copyrights selama ini? Sebabnya antara lain adalah karena kurangnya sosialisasi Pemerintah/ Lembaga yang ditugasi tentang permasalahan ini, berbelitnya administrasi yang harus ditempuh, lamanya proses dan mahalnya biaya (atau banyaknya perantara) untuk mendapatkan HaKI mereka.
  4. Di Era Internet dan majunya jaringan Broadband/3G Indonesia, seharusnya banyak "short-cuts" yang bisa ditempuh untuk meningkatkan effisiensi dan kecepatan proses dalam mendapatkan HaKI bagi rakyat kecil atau individu bangsa Indonesia. Kami bersedia untuk memberikan bantuan advis bagi kemajuan bangsa dan negara.
  5. Yang terjadi selama ini adalah kebalikannya, Pemerintah sibuk dengan berbagai upaya untuk melindungi Kekayaan Intelektual milik bangsa Asing, menakut-nakuti para UKM, merampas hak milik mereka dengan dalih Sweeping Software Illegal, tanpa ada upaya khusus untuk melepaskan mereka dari jeratan Hukum UU HaKI, sebelum dilakukan sweeping.
  6. Upaya butir 5 tersebut diatas adalah perjuangan kami bersama kawan-kawan yang memiliki pandangan yang sama, untuk membebaskan rakyat kecil, UKMK, masyarakat umum dan individu bangsa Indonesia dari jeratan UU HaKI Indonesia yang kita buat sendiri, sehingga tidak membuat sengsara mereka, putus asa, menyerah sebagai pengusaha UKMK (contoh, sudah banyak pengusaha warnet yang berpindah bisnis).
  7. Dari hasil diskusi di Milis-milis, kami dapat berikan kesimpulan penting untuk dapat menyusun strategi keberhasilan perjuangan pada butir 6 diatas, yaitu:
  • Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa (istilah lainnya, kecanduan) memakai Software-software Proprietary. Ini diakui oleh individu para mantan Pejabat, seperti pengakuan pak Djiwatampu, bahwa sangat sulit melepaskan kebiasaan mereka untuk berubah memakai Software Legal Open Source. Dampaknya, mereka selalu "menyerang" usul innovatif dan kreatif untuk melepaskan Bangsa Indonesia dari ketergantungan atau kecanduan penggunaan Software Proprietary, dengan berbagai argumentasi dan alasan agar usul tersebut gagal atau ditolak mayoritas masyarakat Indonesia.
  • Karena ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan kebijakan Pemerintah dalam menyikapi penerapan UU HaKI Indonesia, maka dilapangan terjadi Pesaingan Bisnis yang tidak sehat, sebab banyak Perusahaan/UKM berbisnis secara tidak fair (tidak sehat), yang memakai Software Full Proprietary berlisensi (CAPEX tinggi) dibiarkan bersaing secara tidak sehat dengan Perusahaan/UKM yang menggunakan Software Illegal (CAPEX rendah) yang berjalan melalui berbagai upaya untuk dapat lepas dari jeratan hukum.
  • Ketidak-jelasan Pemerintah dalam menyikapi pilihan Penggunaan SW Legal Proprietary atau SW Legal Open Source, sebab seperti butir 7-A diatas, banyak Instansi yang sudah terbiasa ( istilah lainnya, kecanduan) memakai SW Proprietary (36% legal, 64% bajakan, hasil Survey di 11 kota oleh DEPKOMINFO 2007). Sebetulnya secara Logis, rasional dan gampang, pilihan bagi Instansi Pemerintah seharusnya adalah penggunaan SW Legal Open Source, selain murah atau gratis, juga tidak kalah canggih dengan SW Proprietary yang saat ini dipakai untuk tugas2 harian perkantoran (Open Office atau Multimedia Office untuk menggantikan MS Office). Tentu ada sedikit pengecualiannya, beberapa SW Proprietary khusus, seperti AutoCAD, misalnya.

Kalau Pemerintah Jerman dan beberapa negara Amerika Latin dapat membuat keputusan Pemerintah yang tegas untuk menggunakan SW Open Source bagi Instansi Pemerintah tanpa ada protes para Vendor Proprietary, mengapa Pemerintah Indonesia tidak bisa? Jawabannya sederhana, karena keengganan untuk merubah kebiasaan (kecanduan) menggunakan SW2 Proprietary (legal +illegal).

Jadi bagaimanakah solusi bagi bangsa Indonesia. Solusi jalan tengah yang kami usulkan sudah kami jelaskan secara panjang-lebar di Milis2, dimana essensinya, dilakukan Regulasi (Himbauan?) agar ada Segmentasi Fokus Bisnis Software di Indonesia. Para Vendor SW Proprietary agar memfokuskan pemasaran produk2nya (juga iming2 produknya) ke Perusahaan yang kaya, Individu yang kaya saja, agar dapat dipastikan mereka tidak
akan melakukan pembajakan software atau penggunaan SW Proprietary Illegal.

Sedangkan SW Open Source mendapat jatah pasar Instansi Pemerintah umumnya dan UKMK, masyarakat umum Indonesia dan individu, karena keterbatasan anggaran atau dana mereka, sehingga kemapuan mereka hanyalah membeli SW Legal Open Source yang murah atau gratis, dan terhindar dari perbuatan Illegal membajak SW Proprietary. Tentu saja Perusahaan Besar, Individu kaya tidak dilarang untuk membeli murah SW Open Source atau meng-copynya secara gratis, sebab ini tidak melanggar hukum dan malah meningkatkan keunggulan kompetitif mereka (menghemat biaya CAPEX).

Silahkan diberikan tanggapan dan saran-saran yang positif demi kemajuan dan kemandirian bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai.

Wassalam,
S Roestam
Masyarakat Informasi


================================================
Senandung Ayat-Ayat Cinta pada Hari HaKI sedunia
oleh : Suwantin Oemar

================================================


Hari ini, seluruh negara anggota World Intellectual Property
Organization (WIPO), termasuk Indonesia, memperingati hari hak atas
kekayaan intelektual (HaKI) sedunia.

Peringatan kedelapan hari HaKI sedunia pada tahun ini memilih tema
Celebrating Innovation and Promoting Respect for Intellectual Property.
Indo-nesia merayakannya dengan menggelar berbagai kegiatan, antara lain
acara gerak jalan yang dijadwalkan dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf
Kalla.

Peringatan itu berlangsung di tengah masih maraknya pelanggaran terhadap
HaKI di dalam negeri, terutama pembajakan software, lagu dan film.

Pembajakan hak cipta tidak saja terjadi terhadap karya milik asing, tapi
juga karya cipta putra-putri Indonesia. Film laris Ayat-Ayat Cinta pun
dibajak habis-habisan.

Peredaran VCD/DVD Ayat-Ayat Cinta bajakan sangat luas, baik di pusat
perbelanjaan maupun di atas kereta api Jabodetabek dan jembatan
penyeberangan. Produk film laris itu hanya dijual berkisar
Rp7.000-Rp10.000 per keping.

Maraknya pelanggaran terhadap hak cipta, merek dagang, dan desain
industri mencerminkan kurangnya penghargaan dan penghormatan terhadap
karya cipta milik orang lain.

Para pembajak karya cipta hanya mementingkan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Tidak pernah terpikir bahwa perbuatan itu tidak saja merampas
hak-hak orang lain, tetapi juga turut andil mematikan kreativitas anak
bangsa dan industri rekaman.

Perbuatan para pembajak itu juga merugikan negara karena hilangnya
potensi pemasukan dari pajak.

Pertanyaannya sekarang adalah, apa makna peringatan hari HaKI sedunia
bagi Indonesia? Apakah hanya sekadar seremonial?

Peringatan hari HaKI sedunia bagi Indonesia hendaknya bisa menjadi
cermin dan evaluasi bagi pemerintah. Event itu hendaknya juga dijadikan
momentum untuk menoleh ke belakang, menyangkut perlindungan hukum
terhadap HaKI.

Apabila kita bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana Indonesia
berhasil memberikan perlindungan hukum terhadap HaKI dan rasa nyaman
kepada investor?

Jawabannya mungkin beragam, bergantung pada kita melihat dari sisi mana.
Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan tingkat pelanggaran HaKI masih
tinggi.

Lihat saja hasil kajian yang dilakukan oleh International Intellectual
Property Allliance (IIPA). Pada tahun lalu, Indonesia masih bercokol di
tempat teratas tingkat pembajakan software.

IIPA adalah gabungan dari enam asosiasi yang mewakili industri Amerika
Serikat (AS) berkaitan dengan hak cipta.

Anggota IIPA mewakili 1.900 perusahaan yang memproduksi dan memasarkan
produk yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Tingkat peredaran sofware bajakan di dalam negeri, menurut data IIPA,
mencapai 85%, sedangkan tingkat pembajakan produk musik dan rekaman
mencapai 92%.

Kita bisa saja membantah data yang disodorkan oleh IIPA tersebut. Akan
tetapi, hasil kajian lembaga itu selalu menjadi acuan bagi United States
Trade Representative (USTR) dalam memasukkan negara-negara yang perlu
diawasi, berkaitan dengan pelanggaran hak cipta

Peringatan hari HaKI sedunia kali ini, hendaknya menjadi momentum untuk
meningkatkan kesadaran, pemahaman dan mendorong lahirnya inovasi-inovasi
baru di tengah masyarakat.

Karya-karya dan inovasi baru masyarakat hanya muncul apabila para
penciptanya merasa aman dan nyaman, dari tindakan pembajakan.

Menurut kalangan konsultan HaKI, pemahaman masyarakat Indonesi terhadap
hak intelektual masih kurang.

Para pengusaha, khususnya sektor usaha kecil dan menengah (UKM), juga
kurang memahami manfaat pendaftaran merek dagang, desain industri, hak
cipta, dan paten.

Beban bagi UKM

Bagi UKM, mendaftarkan HaKI manjadi beban tersendiri karena mereka harus
mengeluarkan sejumlah uang. Ketidakpahaman mengenai manfaat HaKI itu
disebabkan oleh kurangnya sosialisasi.

Apabila saja kelompok usaha UKM paham akan manfaat pendaftaran terhadap
HaKI, mereka pasti berbondong-bondong untuk mendaftarkan. Mereka baru
sadar dan berteriak-teriak setelah merek dagang, desain industri, hak
cipta atau paten mereka dibajak oleh orang.

Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk sosialisasi? Tentu saja semua
instansi yang terkait dengan HaKI.

Instansi pemerintah hendaknya lebih proaktif melakukan sosialisasi ke
sentra-sentra produksi UKM dan tidak sekadar mengadakan seminar dan
lokakarya di hotel-hotel berbintang.

Potensi HaKI Indonesia itu sebenarnya ada di sentra-sentra produksi UKM
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Masalah penting lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah sejauh mana
penegakan hukum HaKI di dalam negeri. (suwantin.oemar@bisnis.co.id)

Leave a comment