Tag Archives: Nasibnya dipertnayakan

Nasib Country Code Top Level Domain Dot-id dipertanyakan..

Internet di Indonesia pada awalnya hanyalah mainan pada akademisi. Sejak akhir 1980-an, Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Pusilkom UI) sudah menggunakan cc-TLD secara terbatas untuk mendukung Unix to Unix Copy Protocol (UUCP) dengan simpul indogtw.uucp.

Secara umum UUCP adalah protokol komunikasi antarkomputer berbasis Unix, digunakan juga untuk berkirim dan menerima surat elektronik.

Saat itu, administrative contact ID-TLD pertama adalah Rahmat M. Samik-Ibrahim, salah seorang staf pengajar di Pusilkom UI. Menurut penuturannya dalam salah satu situsnya, banyak keluhan muncul dari komunitas Internet dunia. Penyebabnya, mereka tidak bisa me-reply e-mail dari Indonesia yang melalui simpul indogtw.uucp.

Muncullah desakan agar ID-TLD didaftarkan secara resmi. Karena berbagai alasan teknis dan untuk menghindari konsekuensi teknis dari pendaftaran ID-TLD, UI sejak 1998 hingga 1993 mendekati sejumlah pihak, termasuk Ditjen Postel, Indosat, Perumtel (kini Telkom) dan Lintasarta.     Pendekatan UI ini bertepuk sebelah tangan, perhatian terhadap Internet saat itu boleh dibilang tidak ada. Selanjutnya UI sebagai institusi akademis juga keberatan menindaklanjuti pendaftaran ID-TLD itu.

Desakan untuk mendaftarkan ID-TLD kembali menguat sejak Mei 1992. Hal ini dipicu meningkatnya pemakaian ID-TLD dan Domain Tingkat Dua (DTD) tidak resminya menyusul terbentuknya jaringan komputer antarinstansi yang pertama di Indonesia oleh kelompok kerja informal dari BPPT, LAPAN, STT Telkom dan UI.

Atas desakan itu, UI lalu mendaftarkan ID-TLD lewat UUNET di Amerika Serikat (AS). UUNET adalah salah satu penyelenggara jasa Internet (PJI) tertua dan terbesar di dunia.

Penamaan domain di Indonesia mulai tertata, muncullah konvensi DTD dua huruf seperti go.id, co.id, dan net.id.

Lalu pada akhir 1994, Ipteknet yang mengelola ID-TLD dan DTD go.id sedianya juga ditugasi untuk mengelola DTD yang lain. Harapannya saat itu, dari pengalaman Ipteknet mengelola go.id akan menelurkan petunjuk pelaksanaan untuk DTD yang lain.
Namun hal ini tidak pernah terlaksana sepenuhnya. Pada 1995, masuklah Indonet dan RADnet sebagai pengelola DTD seiring perkembangan bisnis PJI saat itu.

Pembentukan APJII  Bergabungnya para PJI untuk ikut mengelola domain tingkat dua ini -khususnya .net.id-mencapai puncaknya dengan pencetusan deklarasi bersama pada Maret 1996 yang dihadiri 31 orang dari kalangan PJI dan UI.

Deklarasi itu mencakup empat hal, salah satunya adalah penunjukkan Pembina Ipteknet Joseph FP Luhukay sebagai administrative contact untuk DTD .net.id.
Para peserta juga menyepakati pendirian sebuah “ID*NIC” yang antara lain berfungsi menangani registri alamat IP dan nama domain, terutama .net.id. Pusilkom UI mendapat tugas membuat proposal penyelenggaraan lembaga itu serta tata cara pengelolaan domain yang lain, termasuk .co.id dan .or.id.

Pada 15 Mei 1996, dibentuklah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sebagai hasil dari deklarasi itu juga. Sekjen APJII pertama (1996-1999) dijabat Teddy A. Purwadi. Dia jugalah yang kembali terpilih sebagai Sekjen APJII terbaru (2005-2008).

Tak lama kemudian APJII mendaftarkan ID-NIC sebagai nama merek yang sekaligus menutup peluang pihak lain menggunakan kata-kata atau susunan huruf yang sama tanpa izin.

Dua bulan setelah deklarasi, tepatnya 27 Juli 1997 tim APJII dan UI sepakat mengelola bersama-sama pendaftaran nama domain. Rupanya kolaborasi antara akademisi dan para pengusaha ini tak berjalan lama.

Usulan pengelolaan domain tidak pernah rampung hingga deadline Agustus 1997. Puncaknya, tim UI menyatakan mundur mulai 1 Oktober 1997. ID-TLD berada dalam status quo.

Kegagalan APJII/UI itulah yang kemudian mendorong Samik-Ibrahim sebagai ID-TLD berinisiatif mengembalikan hak pengelolaan kepada IANA.

Pengelolaan nama domain tak menentu hingga pada 30 September 1997, Budi Rahardjo dari ITB secara sukarela menyatakan bersedia menangani ID-TLD. Samik-Ibrahim langsung menyetujui langkah Budi.     Namun, Samik masih menjadi ID-TLD selama 30 September 1997 hingga IANA meresmikan Budi sebagai ID-TLD pada 18 Agustus 1998 setelah mendapat referensi, salah satunya dari Jos Luhukay.        Samik lalu meminta Budi untuk menyiapkan berbagai hal terkait pengelolaan domain. Salah satunya adalah kembali membuat pedoman pengelolaan ID-TLD dan DTD sebelum 6 Februari 2003.  Pedoman pendaftaran domain itu sebisa mungkin mengikuti kerangka kerja global yang disebut RFC-1591.

Budi kemudian menetapkan sistem billing tahunan untuk pendaftaran domain meminjam alamat APJII. Budi menegaskan tetap mempertahankan IDNIC sebagai lembaga nirlaba kendati ada desakan komersialisasi. IDNIC tetap sebagai lembaga independen yang lepas dari intervensi pihak luar.

Hubungan Budi sebagai ID-TLD dan APJII retak setelah asosiasi itu melarang Budi penggunaan nama IDNIC (yang telah menjadi merek) pada Maret 2005. Pelarangan ini menyusul penerapan sistem registrar-registry yang disosialisasikan Budi.     Perseteruan ID-TLD dan APJII tersebut diselesaikan pemerintah dengan mendirikan lembaga baru yang mengurusi masalah domain .id (registry), yaitu Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) pada 2005.     Namun, alangkah mengejutkannya, ternyata sejak 2005, Pandi belum diakui oleh lembaga Internet dunia, sebagai pengelola domain .id

Seperti diketahui, Pandi ternyata belum bisa menjadi registry penuh domain .id sejak 2005 hingga sekarang karena nama registry di ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers) dan IANA (Internet Assigned Numbers Authority) yang mengatur nama domain dan alamat Internet  Protocol atau IP di dunia masih tercantum Budi Rahardjo, selaku pengelola ccTLD (country code Top Level DOmain).     Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pun mendorong semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan domain Indonesia berakhiran .id untuk duduk bersama membahas pengelolaannya agar segera diakui oleh lembaga Internet dunia itu.     Persoalan Internet adalah persoalan global, yang tidak hanya diatur oleh satu negara saja, tapi ada komunitas global di atasnya sedangkan asas yang diberlakukan oleh komunitas internasional dalam pengelolaan domain Internet adalah kepercayaan karena nonprofit.

Jadi, pemindahan pengelolaan domain .id dari Budi Rahardjo ke Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) tidak cukup hanya dengan campur tangan pihak pemerintah saja, karena harus tetap ada keikhlasan diantara keduanya.

Pandi sebagai representasi pemerintah sebenarnya bisa menguasai pengelolaan nama domian apabila memohonkan terlebih dahulu hak delegasi atas domain .id kepada ICANN dan IANA, itu pun harus atas restu Budi Rahardjo.

Yang harus dipahami pemerintah adalah domain .id bukanlah sumber daya atau asset milik negara melainkan milik masyarakat global yang diatur oleh lembaga Internet dunia di bawah ICANN dan IANA di bawah wewenang pemerintah dan komunitas Internet AS..

Apabila kisruh pengelolaan domain .id ini tak kunjung berakhir, maka dikhawatirkan ICANN/IANA akan menganggap tidak ada pihak di Indonesia yang kompeten dan dapat dipercaya untuk mengelola ccTLD-ID sehingga domain .id mereka ambil alih pengelolaannya dan atau diserahkan pada pihak lain di luar Indonesia atau bahkan swasta asing.

Bila hal itu terjadi, maka masa depan Top Level Domain .id seperti diujung tanduk (Sumber: Arif Pitoyo – Bisnis Indonesia)